Milenial Kerap Jadi Sasaran Utama Radikalisasi, Putri Wapres Beri Seminar Pencegahan Konflik Sosial
MILENIALNEWS.ID–Putri ketiga Wakil Presiden (Wapres) Republik Indonesia Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah Ma’ruf, hadir dan memberikan kuliah umum kepada mahasiswa STIH Caritas Papua dan STIE Mah-Eisa Manokwari, Selasa (7/12/2022).
Penulis buku Towards Halal ini mengaku bangga bisa mendapatkan kesempatan dalam memaparkan materi tentang upaya deteksi dan respons dini konflik sosial di hadapan para mahasiswa yang berada di provinsi ujung timur Indonesia ini. Terlebih, Azizah mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat, mahasiswa, dan pihak kampus.
Kepada para mahasiswa, Azizah menyampaikan, bahwa kekerasan atas nama Tuhan seringkali dijadikan pembenaran dan ditampilkan sebagai alat utama penegakan keadilan. Di sisi lain kekerasan atas nama Tuhan disamakan dalam bentuk pembebasan dalam rangka mengajak ke pertobatan.
“Padahal kalau kita mau sedikit berfikir secara komprehensif dan terintegratif, perbedaan dalam bentuk pemahaman keagamaan bisa juga menjadi kekuatan membangun kebersamaan guna mencapai tujuan keutuhan serta kemajuan umat manusia,” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia menjadi negara yang paling religius di Asia Pasifik dengan lebih dari 83% penduduk Indonesia meyakini bahwa agama merupakan suatu hal yang penting. Peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa dengan rata-rata 30% penduduk yang mengganggap agama merupakan komponen yang penting,” katanya.
Azizah melanjutkan, Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang plural dan majemuk. Hal ini bisa menjadi potensi yang konstruktif dan positif. Namun, bisa pula negatif dan destruktif yang berakibat pada disintegrasi bangsa.
“Harus diakui bahwa masyarakat kita multi complex yang mengandung religious pliralism. Jalan satu-satunya adalah toleransi dalam berbagai dimensi. Jadi, hanya dapat dicapai melalui pendidikan dan kesadaran,” jelasnya.
Baca juga: Bahas Labelisasi Halal di Indonesia, Putri Wapres Luncurkan Buku
Ia menyebutkan, ada beberapa konflik agama paling besar terjadi di Indonesia, seperti konflik di Poso tahun 2000, konflik di Sampang tahun 2004, konflik di Aceh tahun 2015, konflik di Tanjung Balai tahun 2016, dan konflik di Papua tahun 2018.
“Konflik agama di Indonesia bersifat horizontal-sentrisme. Penyebabnya adalah perbedaan doktrin keagamaan, persoalan mayoritas-minoritas, membandingkan ajaran agama,” ungkapnya.
Azizah pun menyampaikan deteksi dini konflik agama. Menurutnya, kaum milenial melalui media sosial menjadi sasaran utama radikalisasi karena mereka sangat sensitif terhadap nilai keagamaan. Sementara kampus menjadi tempat yang disasar ajaran radikalisme agama.
“Agama kerap dijadikan alat legitimasi untuk pembenaran suatu pemikiran,” katanya.
Adapun respons dini konflik agama, lanjutnya, dengan membangun toleransi dari tingkat keluarga dan pendidikan, pelatihan penanganan konflik agama di sekolah, serta membentuk partisipasi aktif masyarakat mencegah konflik.
Baca juga: Ledakan di Polsek Astana Anyar, Gubernur Ridwan Kamil Minta Warga Tetap Tenang
“Hal ini dilakukan dalam rangka memperkuat sinergi kerukunan masyarakat, membumikan implementasi Pancasila, dan membangun moderasi beragama,” jelasnya.
Azizah menuturkan, secara umum strategi kerukunan umat beragama di masyarakat global ke depan meliputi dua langkah utama.
Pertama, proses penyadaran oleh para pemuka agama terhadap pemeluknya masing-masing untuk mengembangkan budaya damai dengan menekankan pesan perdamaian dari agama.
“Kedua, dialog antar umat beragama dalam arti yang seluas-luasnya, yaitu dialog budaya dalam berbagai aspeknya, termasuk dialog teologis. Namun dialog ini harus bertumpu pada otentisitas, ketulusan dan keterbukaan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dan membangun kerjasama antar umat beragama di dunia,” paparnya.
Ia menambahkan, kearifan lokal memuat toleransi dan prinsip persaudaraan yang melahirkan harmonisasi keanekaragaman.
“Menciptakan keharmonisan melalui budaya yang ada di masyarakat yakni identitas sosial yang dapat dijadikan pengetahuan lokal untuk digunakan dalam membangun negara, termasuk penanganan konflik agama,” tuturnya.
Sementara itu, Ketua STIH Caritas Papua Dr Roberth K R Hammar mengatakan, materi yang disampaikan Azizah terkait deteksi dini konflik sosial di Indonesia sangat penting dipahami mahasiswa.
“Kami memandang materi seperti ini perlu untuk diturunkan ke mahasiswa di STIH Caritas dan STIE,” ujar Roberth.
Roberth menuturkan, seluruh keberagaman itu merupakan sebuah kekayaannya yang sangat luar biasa untuk Indonesia. Hanya saja, ketika salah dalam mengelola keberagaman itu maka tetap akan menjadi ancaman bagi Indonesia.
“Kita kaya dengan keberagaman, namun kalau salah dalam mengelola maka akan merusak kehidupan bangsa Indonesia,” pungkasnya.