Politik

Gen Z: Generasi Paling Kritis atau Target Favorit Buzzer Politik

Oleh: Salma Hasanah, Mahasiswa Semester 6, Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

 

MilenialNews.id – Dalam dinamika politik digital Indonesia, Generasi Z (Gen Z) sering disebut sebagai kelompok yang paling kritis dan vokal terhadap isu-isu sosial dan politik.

 

Sebagai digital native yang lahir dan tumbuh di era teknologi, penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari adalah hal kecil yang biasa dilakukan oleh para Gen Z. Namun, tidak dipungkiri dibalik stereotip tersebut, para Generasi Z masih kurang dalam memahami dan menggunakan teknologi dengan bijak.

 

Menurut survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), lebih dari 85% Gen Z (umur 12-27 tahun) di Indonesia memiliki tingkat penetrasi tinggi terhadap penggunaan internet setiap harinya, dengan dominasi platform seperti TikTok, Instagram, dan Twitter/X.

Baca juga:  PKB Latih Ratusan Personel Pasukan Jihad di Tangsel

 

Mereka bukan hanya konsumen informasi, tetapi juga produsen konten. Fakta ini sering dijadikan argumen bahwa Gen Z memiliki daya kritis tinggi karena terbiasa terpapar beragam perspektif.

 

Namun, menurut menurut survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center (KIC) dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada tahun 2022, indeks literasi digital generasi Z di Indonesia berada pada kategori sedang, yaitu 57,5%.

 

Artinya, Gen Z di Indonesia belum sepenuhnya melek digital. Mereka cukup mampu dalam menggunakan teknologi, tetapi masih belum cukup kuat dalam melakukan cross check terhadap informasi yang ditemui, kritis terhadap hoaks dan manipulatif, serta etika digital yang nggak asal share atau menyebar hate speech.

 

Buzzer politik merupakan aktor digital yang secara sistematis menyebarkan informasi, baik fakta maupun manipulatif untuk membentuk opini publik sesuai dengan kepentingan politik tertentu.

Baca juga:  PKB Latih Ratusan Personel Pasukan Jihad di Tangsel

 

Buzzer politik bisa dicirikan dengan akun anonim yang menggunakan foto profil palsu, nama samara, atau minim informasi pribadi. Buzzer politk ada untuk menghindari tanggung jawab atau manipulasi opini publik seolah suara mereka mewakili rakyat biasa. Biasanya, para buzzer politik ini jika diberikan pertanyaan atau dikritik, mereka tidak menjawab dengan argumen yang rasional, tetapi dengan menyerang balik seperti menyebar ejekan atau menyerang pribadi lawan debat. Tidak jarang dari mereka menggunakan fitnah, disinformasi, atau manipulasi emosi untuk terlihat menang dari lawan.

 

Meskipun buzzer politik telah menjadi bagian dari strategi komunikasi digital di Indonesia sejak Pemilu 2014. Dalam konteks ini, Gen Z masih menjadi sasaran strategis para buzzer politik karena dua alasan: pertama, mereka merupakan pemilih pemula; kedua, mereka mudah dijangkau melalui konten visual dan emosional.

Baca juga:  PKB Latih Ratusan Personel Pasukan Jihad di Tangsel

 

Hal tersebut sejalan dengan analisis yang dilakukan MAFINDO (Masyarakat Antifitnah Indonesia) terhadap meningkatnya jumlah hoaks politik pada Pemilu 2024 (sebanyak 1.292) dibandingkan Pemilu 2019 (sebanyak 644) yang mengatakan bahwa konten hoaks video pendek akan cepat sekali viral karena dibumbui dengan elemen emosional. Belum lagi cuplikan pidato politik, konten meme atau narasi satir yang jauh lebih efektif menjangkau kalangan muda dibandingkan teks panjang atau berita formal.

 

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia, institusi pendidikan, dan masyarakat sipil (terkhususnya Gen Z) untuk memperkuat literasi digital kritis sebagai benteng utama dalam menghadapi strategi manipulatif buzzer politik. Jika tidak diatasi dengan serius, maka potensi Gen Z sebagai watchdog demokrasi justru akan dibajak oleh kepentingan yang mengerdilkan ruang publik.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button